Kamis, 29 Januari 2015
DAMPAK UU DESA Kelurahan Diusulkan Menjadi Desa
WONOGIRI—Pemkab Wonogiri mewacanakan untuk mengalihkan status kelurahan menjadi desa.
Wacana itu sebagai respons munculnya kecemburuan di kalangan
pemerintah kelurahan terhadap desa setelah ditetapkannya UU No. 6/2014
tentang Desa pertengahan Desember 2013 lalu.
Rasa cemburu kalangan pemerintah kelurahan muncul karena pemberlakuan
UU itu membuat kesenjangan dana yang diterima pemerintah desa (pemdes)
dan kelurahan sangat besar. Pemdes bisa menerima Rp750 juta-Rp1 miliar
per tahun, sedangkan pemerintah kelurahan hanya mengelola dana
operasional Rp60 juta-Rp90 juta per tahun.
Pemerintah kelurahan memang mendapat kucuran dana dari Pemkab, namun
dana itu diatur oleh Pemkab dan pemerintah kecamatan. Berbeda dengan
pemdes yang bisa mengelola sendiri keuangannya.
Lurah Giritirto, Kecamatan Wonogiri, Sukirno, mengakui muncul
kecemburuan di kalangan pemerintah kelurahan dengan penerapan UU Desa.
Kondisi itu jika dibiarkan dinilainya bisa memicu kerawanan sosial.
“Jika anggaran kelurahan tidak sama dengan desa ya masyarakat cemburu.
Nanti infrastruktur desa dan gedung desa kondisinya bagus, tetapi
infrastruktur kelurahan tidak. Apa Pemkab Wonogiri bisa memenuhi
kebutuhan anggaran di kelurahan agar tidak beda jauh dengan desa?”
ungkap Sukirno, kepada Koran O, Sabtu (8/2).
Kepala Bagian (Kabag) Tata Pemerintahan (Tapem) Setda Wonogiri, Guntur
Wasito, tak menampik ada kecemburuan dari pemerintah kelurahan terhadap
pemdes. Ia pun mengaku sudah mendengar tentang itu.
Bahkan, menurutnya, Bupati Wonogiri, Danar Rahmanto, sudah menyampaikan
kemungkinan solusi untuk mengatasi hal itu. Solusi dimaksud adalah
dengan mengubah status kelurahan menjadi desa. Dengan beitu, pemerintah
kelurahan saat ini bakal menikmati anggaran yang sama dengan pemdes.
“Soal itu sudah kami kaji pada 21 Januari, sudah kami sampaikan juga ke Bupati,” ujar dia.
Menurut Guntur, ada peluang kelurahan kembali menjadi desa berdasarkan Pasal 11 hingga Pasal 15 UU No. 6/2014. Pasal 12 menyebut pemkab/pemkot dapat mengubah status kelurahan menjadi desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Guntur, ada peluang kelurahan kembali menjadi desa berdasarkan Pasal 11 hingga Pasal 15 UU No. 6/2014. Pasal 12 menyebut pemkab/pemkot dapat mengubah status kelurahan menjadi desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tunggu PP
Sementara itu, Bupati Danar mengaku sudah menyampaikan gagasan mengubah kelurahan menjadi desa secara lisan. Danar yang ditemui Koran O, Sabtu, juga mengaku telah meminta Bagian Tapem Setda Wonogiri mengkaji soal itu. Hasil kajian akan disampaikan ke Pemprov Jawa Tengah dan pemerintah pusat agar dijadikan bahan untuk mengubah status kelurahan di Wonogiri menjadi desa.
Sementara itu, Bupati Danar mengaku sudah menyampaikan gagasan mengubah kelurahan menjadi desa secara lisan. Danar yang ditemui Koran O, Sabtu, juga mengaku telah meminta Bagian Tapem Setda Wonogiri mengkaji soal itu. Hasil kajian akan disampaikan ke Pemprov Jawa Tengah dan pemerintah pusat agar dijadikan bahan untuk mengubah status kelurahan di Wonogiri menjadi desa.
“Permohonan secara lisan agar status kelurahan diganti menjadi desa
sudah ada. Karenanya, dalam waktu dekat, para lurah se-Wonogiri akan
dikumpulkan untuk membahas perubahan tersebut,” tegas Danar.
Di sisi lain, meski ada peluang mengubah status kelurahan menjadi desa,
hal itu sulit dilakukan dalam waktu dekat. Sebab, sampai saat ini belum
ada peraturan pemerintah (PP) yang menjadi dasar pelaksanaan UU Desa.
Dia menambahkan kendati berstatus kelurahan, 39 kelurahan di Wonogiri
memiliki karakter desa.
Guntur menjelaskan sebelum periode 1981-1982, di Kota Gaplek hanya ada
empat kelurahan, yakni Wonoboyo, Wonokarto, Giripurwo, dan Giritirto.
Kemudian, pada periode 1981-1982 terjadi perubahan status 39 desa
menjadi kelurahan. “Jadi sebenarnya ke-39 kelurahan itu kehidupan
masyarakatnya masih seperti desa, kalau mau dikembalikan jadi desa, bisa
saja,” ujar Guntur. (Trianto Hery Suryono)
Sumber : http://www.koran-o.com/2014/solopolitan/dampak-uu-desa-kelurahan-diusulkan-menjadi-desa-48302
Pantaskah Lurah di DKI Digaji Rp 33 Juta ???
JAKARTA, KOMPAS.com - Lurah di DKI Jakarta mengalami kenaikan take home pay Rp 20 juta, menjadi Rp 33.730.000 sebulan. Pantaskah seorang lurah menerima gaji sebesar itu?
Lurah Gondangdia, Susan Jasmine Zulkifli, menceritakan beratnya tugas seorang lurah sehari-harinya. Pasalnya, seorang lurah harus bertanggung jawab penuh terhadap wilayah pimpinannya.
Ada cerita menarik, kemarin Kelurahan Gondangdia menerima surat panggilan dari pengadilan sebagai saksi. Ternyata, ada kasus perdata mengenai kepemilikan tanah salah satu warga Gondangdia. Susan mengatakan, surat semacam itu bukan kali pertamanya hadir.
"Yang lucu itu, waktu itu ada surat kaya gini juga, saya baca pelan-pelan sama staf saya. Enggak tahunya perkara tahun 1965. Saya ketawa. Saya tanya ke staf saya, 'kamu udah lahir belum tahun segitu? Saya aja belum'," ujar Susan di Kantor Lurah Gondangdia, Kamis (29/1/2015).
"Masa kita aja belum lahir tapi tahu-tahu jadi tersangka," tambah Susan.
Susan mengatakan, biasanya, jika ada panggilan seperti itu, dia akan meminta salah satu pegawai kelurahan untuk datang. Tentunya, pegawai yang sudah lama bertugas di Kelurahan Gondangdia.
Biasanya, pertanyaan yang diajukan seputar tanah yang disengketakan. Apakah benar berada di Gondangdia dan berapa luasnya. Susan mengatakan, itu adalah salah satu contoh besarnya risiko seorang lurah.
Sebagai lurah, Susan harus berhati-hati dalam menandatangani sebuah surat. Susan bercerita beberapa waktu lalu ada pengajuan surat ahli waris ke Kelurahan Gondangdia. Selama beberapa hari, dia tidak menandatangani surat tersebut. Alasannya, berkas yang diperlukan masih kurang.
"Pas orangnya nanya kok belum tanda tangan? Saya suruh lengkapi dulu. Surat waris kan harus lengkap ya tanda tangan semua anak. Nanti kalau saya asal tanda tangan terus enggak tahunya ada anak yang engga setuju, kena saya," ujar Susan.
Susan menghindari kemungkinan terjadi sengketa terhadap dokumen yang ia tandatangani. Sementara, Susan juga mengaku tidak menguasai betul soal pertanahan. Wakil lurah Susan, sewaktu ia menjabat sebagai lurah Lenteng Agung dulu, bisa dibilang paham soal tanah. Susan mengatakan, terkadang dia sampai memanggil mantan wakilnya itu untuk membantunya memastikan surat tanah.
Susan mengatakan, seorang lurah harus menguasai wilayahnya masing-masing. Lurah juga sebagai pihak yang bersinggungan langsung dengan rakyat. Posisi ini, begitu rawan terhadap praktik pungli. Susan mengatakan, penandatanganan surat tersebut juga menjadi lahan basah bagi lurah untuk mendapat uang tambahan.
"Tapi kita kan kerja lurus aja. Kita juga jaga keselamatan diri kita sendiri. Dan lurah setelah kita. Jangan sampai lurah setelah saya dapat panggilan seperti ini atas perkara di jaman saya," ujar Susan.
Sehingga, Susan memahami keinginan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menaikan gaji PNS. Terutama TKD, Susan mengatakan TKD tidak diberikan dalam jumlah yang sama tiap bulannya. Melainkan dari kinerja lurah dalam menyelesaikan persoalan. Hal ini agar para lurah takut dalam mengambil pungutan illegal kepada masyarakat.
"Kalau Pak Gubernur memang maunya seperti itu. Tapi kalau kamu udah digaji segitu masih dalam tanda kutip 'main', ya sanksinya dipecat," ujar Susan.
Lurah Gondangdia, Susan Jasmine Zulkifli, menceritakan beratnya tugas seorang lurah sehari-harinya. Pasalnya, seorang lurah harus bertanggung jawab penuh terhadap wilayah pimpinannya.
Ada cerita menarik, kemarin Kelurahan Gondangdia menerima surat panggilan dari pengadilan sebagai saksi. Ternyata, ada kasus perdata mengenai kepemilikan tanah salah satu warga Gondangdia. Susan mengatakan, surat semacam itu bukan kali pertamanya hadir.
"Yang lucu itu, waktu itu ada surat kaya gini juga, saya baca pelan-pelan sama staf saya. Enggak tahunya perkara tahun 1965. Saya ketawa. Saya tanya ke staf saya, 'kamu udah lahir belum tahun segitu? Saya aja belum'," ujar Susan di Kantor Lurah Gondangdia, Kamis (29/1/2015).
"Masa kita aja belum lahir tapi tahu-tahu jadi tersangka," tambah Susan.
Susan mengatakan, biasanya, jika ada panggilan seperti itu, dia akan meminta salah satu pegawai kelurahan untuk datang. Tentunya, pegawai yang sudah lama bertugas di Kelurahan Gondangdia.
Biasanya, pertanyaan yang diajukan seputar tanah yang disengketakan. Apakah benar berada di Gondangdia dan berapa luasnya. Susan mengatakan, itu adalah salah satu contoh besarnya risiko seorang lurah.
Sebagai lurah, Susan harus berhati-hati dalam menandatangani sebuah surat. Susan bercerita beberapa waktu lalu ada pengajuan surat ahli waris ke Kelurahan Gondangdia. Selama beberapa hari, dia tidak menandatangani surat tersebut. Alasannya, berkas yang diperlukan masih kurang.
"Pas orangnya nanya kok belum tanda tangan? Saya suruh lengkapi dulu. Surat waris kan harus lengkap ya tanda tangan semua anak. Nanti kalau saya asal tanda tangan terus enggak tahunya ada anak yang engga setuju, kena saya," ujar Susan.
Susan menghindari kemungkinan terjadi sengketa terhadap dokumen yang ia tandatangani. Sementara, Susan juga mengaku tidak menguasai betul soal pertanahan. Wakil lurah Susan, sewaktu ia menjabat sebagai lurah Lenteng Agung dulu, bisa dibilang paham soal tanah. Susan mengatakan, terkadang dia sampai memanggil mantan wakilnya itu untuk membantunya memastikan surat tanah.
Susan mengatakan, seorang lurah harus menguasai wilayahnya masing-masing. Lurah juga sebagai pihak yang bersinggungan langsung dengan rakyat. Posisi ini, begitu rawan terhadap praktik pungli. Susan mengatakan, penandatanganan surat tersebut juga menjadi lahan basah bagi lurah untuk mendapat uang tambahan.
"Tapi kita kan kerja lurus aja. Kita juga jaga keselamatan diri kita sendiri. Dan lurah setelah kita. Jangan sampai lurah setelah saya dapat panggilan seperti ini atas perkara di jaman saya," ujar Susan.
Sehingga, Susan memahami keinginan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menaikan gaji PNS. Terutama TKD, Susan mengatakan TKD tidak diberikan dalam jumlah yang sama tiap bulannya. Melainkan dari kinerja lurah dalam menyelesaikan persoalan. Hal ini agar para lurah takut dalam mengambil pungutan illegal kepada masyarakat.
"Kalau Pak Gubernur memang maunya seperti itu. Tapi kalau kamu udah digaji segitu masih dalam tanda kutip 'main', ya sanksinya dipecat," ujar Susan.
Sumber : Kompas Online
Langganan:
Komentar (Atom)




